Senin, 18 November 2013

Sepenggal kisah di akhir usia 18 tahunku



     Malam itu gerimis bertabur di kotaku, setelah deras hujan mulai mereda. Udara dingin menyelinap di sela selimut tebalku. Begitu menusuk meski raga ini memanas. Sejak Jumat malam tubuh ini memang terasa tidak enak. Aku mulai kehilangan selera makanku. Sabtu malam aku menumpahkan air mataku. Entah mengapa, aku merasa takut saja.
     Minggu pagi ketika aku bergegas untuk meluncur ke tempat kerja, seketika aku terbaring kembali di tempat tidur. Ibu dan bapakku melarangku pergi. Aku menurutinya dengan segera menghubungi atasanku untuk mengambil izin. Sorenya, bapak memaksaku untuk berobat. Karena tidak ada dokter jaga, aku diantar kr IGD Rumah Sakit Umum kota. Seorang yang entah coass atau sudah dokter memeriksa sebentar lalu memberi resep obat yang tentu saja hanya ditebus tanpa aku konsumsi. Toh, ia juga mengatakan kalau aku hanya demam karna kebiasaan burukku. Aku hanya mengangguk. Ia memberi petuah-petuah khas dokter, melarangku mandi di malam hari, tidak sarapan, tidak makan siang dan jarang minum yang merupakan kebiasaan-kebiasaan burukku, lalu mengangguk sembari tersenyum ketika aku pergi.
      Izin 3 hari. Hah? Yang benar saja? Berlebihan sekali dokter tadi. Katanya hanya masuk angin kok izinnya lama sekali. Aku sedikit tidak suka membaca surat izin di tanganku ini. Aku karyawan yang di bayar dengan perhitungan hari masuk. Ketika aku tidak masuk sehari saja karna sakitpun tetap saja tidak dibayar. Jadi merasa sayang kalau tidak masuk. Gaji sehari saja sudah bisa untuk mencukupi kebutuhanku seminggu.
     Aku merasa sudah sangat sehat hari ini. Selasa pagi di hari izin keduaku aku memaksakan diri     berangkat bekerja. Tempat kerjaku yang terjauh yang kukunjungi. Ya, memang tempat kerjaku berpindah setiap hari. Ada empat lokasi yang harus kukunjungi setiap minggunya.
      Lagi-lagi badanku terasa tidak enak. Ketika jam istirahat tiba aku melangkahkan kaki untuk mendirikan empat rakaat. Aku tidak makan siang lagi. Ketika itu hujan deras mengguyur. Aku dan beberapa teman seprofesi terjebak. Di serambi masjid bersama teman-temanku, aku menunggu hujan reda. Tubuhku makin panas, kepalaku terasa berat dan air mata tak berhenti mengalir.
      Sore itu hujan tak kunjung reda. Aku bermandikan hujan berlari mencari bapak yang menjemputku. Tubuhku basah kuyub. Bapak memarahiku. Seharusnya aku tidak berangkat kerja. Atau setidaknya memilih lokasi yang terdekat saja. Bapakku mempunyai perhatian yang luar biasa terhadap anak-anaknya.
      Kudengar adzan isya berkumandang. Aku ingin segera mendirikan empat rakaat lalu tertidur lelap malam itu. Ketika kusibakkan selimut, kulihat kedua tangan dan kakiku tak seperti biasa. Pori-pori kulitku memerah. Nampak menyebar seperti bintang-bintang di langit. Aku terperanjat. Setelah menunaikan kewajibanku itu, bapak,ibu dan adik-adikku mengantarkanku kembali ke IGD Rumah Sakit Umum.
      Darahku mengalir ke jarum yang menusuk lenganku. Kudengar aku terserang Demam Berdarah Dengue dan harus di rawat inap. Tidak. Tidakkah ada pilihan lain? Baiklah. Di rumah saja dan aku berjanji akan mengkonsumsi obat-obat itu.
      Aku menanti hasil lab yang bermodal darah segarku. Memandangi gerimis yang masih enggan beranjak dari kotaku. Aku bertanya sekali lagi pada bapak yang mengantarku ke ruang lab. Aku benar-benar tidak ingin menginap disini. Di kelas terendah menyesuaikan keadaan ekonomi keluargaku. Ohh.. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana suasana disana. Aku ingin menangis berteriak sejadi-jadinya agar aku diperbolehkan pulang. Ahh.. tidak. Itu tidak mungkin kulakukan. Aku tidak sakit jiwa,ini hanya demam berdarah. Hanya?
      Amplop putih kuterima dari petugas lab. Kuserahkan pada dokter IGD dengan penuh harapan agar hasilnya negatif dan aku bisa pulang. Tapi, kenyataan berkata lain. Seorang dokter atau coass yang berbeda dengan yang kutemui di hari Minggu itu menuntunku di ranjang empuk berseprai biru muda. Lalu memberi selimut bergaris. Sambil tersenyum ia memeriksaku, lagi.
      Seorang coass cantik lalu menyapaku setelah dokter atau coass tadi meninggalkanku. Perempuan berhijab itu memasangkan infus. Menusukkan jarum di telapak tangan kananku untuk yang pertama kali. "Belum pernah ya? Ini rasakan sensasinya", begitu ucapnya dengan tawa geli. Setelah ia pergi, seseorang yang berbeda lagi, entah dokter atau coass, aku tidak faham dengan penglihatan terbatas, datang dan memeriksaku. Sebenarnya aku tidak nyaman. Ini aku kenapa diperiksa berkali-kali? Kenapa dokter-dokter ini tidak tanya sama dokter yang tadi saja? Huffhh.. Aku tidak mengerti.
      Aku duduk di kursi dorong. Akhirnya aku pergi dari ruangan itu sebelum ada dokter lain yang memeriksaku lagi. Seorang perawat mengantarku ke kamar yang membuatku berdebar ketakutan. Jalan menuju ruang itu sepi. Gerimis masih setia melihaku melewati perjalanan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. 
     Kulihat kamarku. Kamar yang hanya bersekat kayu teriplek bercat kuning. disana ada dua ranjang. Aku tidur di salah satu ranjang yang kosong. Di sebelahku ada seorang nenek yang tebaring. Hmm.. aku bahkan sudah merasa tidak betah. Aku tidak menyangka. Aku menangis semalaman. Namun menyembunyikannya dari bapakku. Ada rasa takut menyelinapi fikiranku. Bukan taku akan cerita anak-anak tentang hantu-hantu di rumah sakit, tentang suster ngesot, ruang mayat, atau suara-suara mengerikan. Aku takut karna aku belum pernah sesakit ini. Saat itu aku sedang gemar membaca tentang kehidupan kedua. Kehidupan selanjutnya setelah melewati kematian. Mati? Apakah aku sudah siap? Ahh.. mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi sungguh, inilah pertama kalinya aku dirawat di rumah sakit.
     Aku lelah. Badanku terasa sakit semua. Hati ini pun tersa nyeri. Dan kepalaku, aduhh.. bagaimana aku bisa mengeluh sepanjang ini?
     Mataku terbuka. Entahlah apakah ini masih malam atau sudah pagi buta. Seorang coass memeriksaku, membangunkanku dari lelap tidurku. Aku meliriknya. Astagfirullah.. sudah berganti orang lagi.
     Aku hanya memberitahukan atasan dan rekan kerjaku kalau aku opname. Saudaraku, sahabatku, tetanggaku belum ada yang tahu. Bapakku menemaniku semalaman dan hari selanjutnyua ia tidak bekerja. Aku terharu. Kenapa aku jadi mudah sekali mengeluarkan air mata?
     Setiap pagi ibuku tergopoh-gopoh datang menemaniku. Menemaniku mandi, menyuapiku makan dengan sedikit memaksa. Dan yang sangat membuatku terpaksa adalah menelan butir-butir obat itu. Ibu berkali-kali mondar-mandir dari rumah ke rumah sakit berjalan kaki. Aku terharu, lagi. Betapa besar kasih sayang ibu dan bapakku.
     Rabu siang itu aku mendapat pesan dari sebuah perusahaan terbesar di kotaku. Aku dipaggil tes kerja disana. Ohh.. lekas saja aku minta perubahan jadwal karena aku sedang sakit. Mereka memberiku waktu. Alhamdulillah.
     Setiap jam delapan siapa saja yang menunggui kami yang terbaring disini harus keluar karena kamar akan dibersihkan. Sebelum ruangan dibersihkan, semua dokter, perawat senior dan coass berkeliling ke setiap kamar. Dokter senior mendengar setiap coass melaporkan keadaan pasiennya. Ia juga memeriksa dan menanyai sedikit keluhan pasien. Kulihat coass yang merawatku melirikku saat gerombolan itu mengerumuni nenek yang dirawat di sebelahku. Mungkin dia sedang menyiapkan kata-kata untuk disampaikan ke dokter senior, begitu fikirku.
    Dan setelah mereka berlalu, petugas kebersihan pun telah membersihkan setiap kamar dengan baik, para penunggu tetap dilarang masuk. Kesepian mulai merayapi. Aku hanya bisa mengucap doa-doa sebisaku.
    Bapakku mulai berangkat kerja. Jadi setelah ibuku pulang pada jam delapan, aku selalu sendirian sampai jam makan siang tiba. Terkadang sedih tak terbendung menghanyutkanku pada kegalauan. Ketika aku sendirian. Terkadang, para perawat yang sedang praktek yang memeriksaku setiap beberapa jam sekali itu menghiburku. Mereka adalah temen-teman yang menyenangkan.
    Setiap pagi juga darahku diambil, tekanannya di tensi oleh mas coass yang merawatku dan para perawat praktek itu, diukur suhu tubuh, dan menyampaikan keluhan-keluhan yang kurasakan. Dan yang pasti, setiap pagi aku dilanda kesepian itu.
    Aku mulai nyaman disana. Mengamati hiruk pikuk kesibukan di rumah sakit itu. Penunggu pasien kamar depan kamarku itu ramah sekali. Ia datang kepadaku dan menanyai beberapa hal padaku. Cukup menemani kesepianku itu. Tutur perempuan itu lembut, terkadang ia juga membantu nenek di sebelahku mengambilkan minum. Oh iya, diantara semua penunggu, hanya ia yang diperbolehkan tetap tinggal ketika ruangan dibersihkan. Aku tidak tahu siapanya yang sakit dan sakit apa.
    Nenek di sebelahku. Ia adalah warga slah satu kota di provinsi sebelah timur provinsiku. Ia datang untuk mengunjungi saudaranya yang sakit. Namun, ia justru terserang penyakit juga dan harus dirawat di rumah sakit. Dua anaknya, satu putra dan yang satunya lagi putri menungguinya bersama. Putri dari ibu itu nampak tidak senang merawat ibunya. Ia sering membantah dan berbicara keras pada ibunya itu. Justru para perawat praktek dan mbak coass yang merawatnyalah yang dengan sabar mengurusnya.
    Waktu itu, salah seorang dari para perawat praktik mencurahkan isi hatinya. Sesungguhnya ia sama sekali tidak ada minat menjadi perawat. Tapi karena ibunya yang menyuruh, ia mau saja. Bukan dengan terpaksa, ia menjalani sepenuh hati. Berusaha keras melawan egonya yang masih saja menolak profesinya itu. Ia menceritakan pahitnya menjadi seorang perawat yang bukan menjadi minatnya itu, tapi karna ibunya, demi ibunya, ia lakukan. Ya, meskipun itu baru pendidikan. Ia juga menyarankanku untuk melanjutkan studi tapi melarangku masuk dunia keperawatan karna dia merasakan ketidaknyamanannya itu.
     Aku juga kaget, ternyata mas coass yang merawatku itu tinggal di perumahan yang sama dengan yang kutinggali. Walaupun, dia hanya kos bukan penduduk.
     Aku merasa sangat pusing. Mataku seperti enggan terbuka. Aku jalan dengan lemas menuju kamar mandi. Ibu melarangku mandi, tapi aku risih dan tetap ingi mandi. Sesampainya disana, aku masuk ke kamar mandi yang baru saja dipakai seorang penunggu pasien mandi. Lumayan, kmar mandi bersih dan wangi. Mataku semakin berat. Aku tak dapat melihat apapun. Seketika pandanganku gelap, hitam. Aku berteriak dan ibuku terdengar cemas. Aku tak ingat apapun. Lalu samar-samar kudengar suara ibuku. Mata ini belum mampu kubuka. Hingga akhirnya, saat kubuka perlahan, aku sudah terjatuh di lantai memeluk bak sampah kamar mandi. Tiba-tiba ibuku datang bersama putra dari nenek yang dirawat disampingku dan perawat praktek yang pernah berbagi kisahnya denganku. Ibuku merangkulku dan perawat itu membawakan infusku. Jarum di tanganku hampir lepas. Darah mengalir dari sana. Rok panjang yang kupakai sobek dan basah. Inilah pertama kalinya dalam hidupku, aku pingsan.
     Saat aku berjalan kembali ke kamarku, mlewati kamar ibu dari teman pamanku, kudengar isak tangis dan teriakan histeris. Rupanya ibu itu meninggal. Aku tidak bisa berfikir apapun saat itu. Aku hanya merasa melayang-layang bayanganku.
     Ya Allah.. tensiku sja sampai delapan puluh per enam puluh lalu delapan puluh per tidak terdeteksi. Aku hanya terbaring memandang langit-langit kamar.
     Ketika itu, Jumat sore, sahabat-sahabatku datang menjengukku. Sahabat-sahabatku yang ketika kami berkumpul pasti ada saja yang tidak ikut, tapi saat itu justru kami dapat berkumpul secara utuh. Aku sangat bahagia. Delapan sahabatku tercinta. Kamarku berubah menjadi sangat ramai. Ya, ketika kami berkumpul, terkadang kami lupa tempat dan keadaan. Tawa-tawa renyah itu sangat menghiburku.
     Juga keluarga besar bapakku. Yang tidak pernah ikut berkumpul saat ada acara keluarga pun datang menjengukku. Bahkan nenekku beserta saudaraku dari kota di Jawa Timur juga menjengukku. Terharu. Sangat terharu. Ketika aku mampu mengumpulkan mereka semua. Juga tetangga-tetanggaku yang jarang berkumpul jadi berkumpul untuk bersama-sama menjengukku. Aku berkesan.
     Sabtu pagi perawat praktek yang pernah berbincang denganku mengatakan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya dan teman-temannya praktek. Ada rasa kecewa. Mungkinkah pengganti mereka nanti akan sama menyenangkan dengan mereka? Sebelum pergi, mereka datang mengerumuniku. Berucap pisah dan mendoakanku. Mereka melambaikan tangan lalu pergi. Dan ternyata mas coass yang merawatku juga selesai masa prakteknya di bangsalku hari itu. Mereka pergi. Ada rasa kehilangan. Ya, pertemuan singkat dengan mereka memang. Tapi sangat berkesan.
     Sabtu malam aku masih tidak menyangka mereka semua sudah tidak disana. Sepi. Aku mengingat masa-masa bersama mereka. Ketika mereka menggantikan infusku, menggantikan sepreiku, menutupkan gordin,membantuku membuka jaket saataku kesusahan melepaskannya, ketika mereka mengukur tensi dan suhu tubuhku, ketika tangan mereka menyentuh nadiku, dan semua yang pernah terlewati. Begitu singkat. Aku menangis lagi. Aku menjadi sangat sensitif dan cengeng sekali. Ibuku hanya memandangku setelah menanyai kenapa aku menangis dan aku terdiam.
     Aku ingin pulang.
     Nenek disebelahku sudah pulang. Aku ingin ikut pulang juga. Tapi belum diperbolehkan. Kali ini sebelahku adalah nenek yang sudah berusia 81 tahun. Kebalikan dari usiaku. Ia ditunggui oleh dua putrinya yang sangat sabar merawatnya. Berbeda dengan yang sebelumnya. Ibu-ibu itu juga baik padaku. Aku yang selalu sendiri sering diajak berbincang. Mereka menemani kesepianku.
      Minggu pagi. Aku benar-benar ingin pulang. Rumah sakit sangat sepi di hari itu. Aku menghubungi bapakku. Tapi saat bapakku meminta izin membawaku pulang, pihak rumah sakit tidak menyetujuinya. Aku masih harus disana.
      Minggu sore. Nenek disebelahku terlihat akan meregang nyawa. Dua perawat senior dan dokter muda memberi perawatan. Semua penunggu harus keluar dari kamar. Aku menyaksikan ketiga orang itu berusaha menyelamatkan nenek. Namun apa dikata, kulihat mereka beralih melepas semua alat medis yang melekat di tubuh nenek. Memasang kapas-kapas. Mengikat tangan dengan kasa. Lalu membungkus jenazah itu dengan kain kafan. Aku tertegun melihatnya. Mengingat tarikan dan hembusan nafas terkhir dari nenek itu.
       Malam sepi. Aku sendiri ketika bapak yang setiap hari menginap menemaniku mengantar ibuku pulang. Kulihat ranjang disebelahku yang kosong, rapi. Membayangkan nenek itu. Ya Allah.. kulihat kepergian nenek itu, juga dua anak nenek itu yang memelukku saat ibu mereka tiada. Wajah tegar itu sangat membekas dalam fikiranku.
       Aku ingin pulang. Pulang ke rumahku, bukan ke pada-Nya.
       Sudah tidak ada lagi perawat dan coass yang setiap hari mencurahkan perhatiannya untukku. Pun dua ibu yang sering mengajakku berbincang. Sudah sepi dan semakin sepi. Aku mengusap air mata dan pura-pura tidur saat bapakku datang. Aku ingin menyembunyikan ini darinya.
      Senin pagi kabar gembira kudengar. Aku boleh pulang hari itu. Aku bersemangat sekali. Kulihat beberapa perawat praktek baru sudah hadir. Benar saja, mereka tidak seramah perawat-perawat praktek lama dari kota sebelah.
      Tak sengaja kulihat juga mas coass yang merawatku lewat di depan kamarku. Tapi dia sudah tidak merawatku. Perlakuan rumah sakit kepadaku hari itu sudah berbeda. Mungkin karna aku sudah akan pulang. Rasanya agak sedih juga meninggalkan kamar ini. Ahh.. apa aku sudah betah? Tapi apa aku tidak gila betah berada di rumah sakit? Bukankah aku ingin segera pulang?
      Aku pulang. Aku berjalan meninggalkan kamarku, bangsalku, rumah sakit itu. sambil kupandangi ruang itu, kenangan-kenangan itu. Aku selalu berkesan pada sesuatu yang barusaja dan belum pernah kualami. Banyak hal yang kualami disana, banyak hal yang kuamati disana. Aku belajar banyak. Mensyukuri banyak hal. Ketika sholat hanya dengan tayamum dan sambil terbaring, makan hanya dengan bubur dan lauk yang semua terasa pahit, menelan obat-obat, merasa kesepian dalam kesendirian, dan rasa sakit yang kurasa, ditubuh dan di hati ini. Belajar bahwa kesehatan itu mahal dan berharga. Juga, aku tidak lagi malu pernah menginap di bangsal yang paling sederhana, karna dari sana, aku membawa pulang tumpukan pelajaran dan hikmah yang berharga. Dan aku menambah kenalan serta teman juga. Meski aku tidak pernah mendapat kabar lagi dari mereka. Aku berharap suatu hari dapat bertemu kembali dengan meraka dan menjalin silaturahmi yang baik. Semoga.


     Kisah yang tertulis ini hanyalah beberapa potong kenangan dari yang sesungguhnya. Sebagian yang lain biarkan tersimpan di hati saja.

5 Februari 2013 sekitar pukul setengan sembilan malam sampai dengan 12 Februari 2013 siang menjelang sore sekitar pukul lima belas nol nol WIB <7 hari>

**Setelah aku keluar dari rumah sakit dan kembali sehat, aku mengikuti tes seleksi di perusahaan yang memanggilku lewat pesan singkat saat sehari aku opname itu. Akhir Februari aku bimbang apakah harus bertahan di tempat kerjaku yang sekarang waktu itu atau keluar demi kesehatanku. Akhirnya, sesuai dengan saran ibu, aku mengundurkan diri setelah tujuh bulan. Tepat tujuh hari aku menganggur, aku diterima kerja di perusahaan besar itu. Dan sampai hari ini aku masih menjadi karyawan disana.

Jumat, 08 November 2013

Inspirasi Malam

Kenapa pertanyaan-pertanyaan itu terlontar begitu saja padanya? Yang akupun mungkin tahu jawabannya. Meskipun itu bukan untuknya. Meskipun ia mungkin hanya mewakili pemikiran sekawanannya. Bukankah tetap saja pertanyaan-pertanyaan itu tidak pantas terlepas begitu saja dari pemikiran ini?
Yaa Allah.. Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya hanya menampakkan keraguanku padaMu. Seolah-olah aku tak percaya akan keputusan yang Kau pilihkan. Padahal telah nyata Kau perlihatkan bahwa sungguh tiada yang tak mungkin terjadi. Bahkan yang tak pernah terbayangpun.
Namun pertanyaan-pertanyaan itu sudah terpampang. Sudah terbaca bahkan terjawab. Mungkin ia pun tengah menerka-nerka sesuatu yang belum tentu seperti apa yang sesungguhnya kupikirkan.
Yaah.. Semoga saja ia melupakan lekas pertanyaan-pertanyaan itu. Dan biarlah Allah yang menjawab kepastiannya dengan wujud nyata terjadi padaku. Hingga kubuktikan sendiri. Hingga ku menyesal meragukanMu.
Sungguh itu mimpiku. Pertanyaan-pertanyaanku, aku harap jawabannya adalah sangkalan. Yaa.. Semoga.

Kamis, 07 November 2013

Inspirasi Malam

Sudah berapa detik aku bernafas? Apakah sudah ku dapat apa yang ku cari? Lembaran-lembaran petunjuk telah ku baca. Tapi, apa sudah ku telusuri pada jalan yang sebenarnya?
Aku mungkin telah mendengar apa saja yang akan kulewati dan dimana tujuan akhirku serta apa yang harus ku lakukan. Sudahkah aku bersungguh-sungguh untuk itu? Ahh.. Apa benar aku sudah tau apa yang aku cari? Atau bahkan aku tidak peduli?
Ya Allah.. Betapa mudahnya aku merenggangkan keyakinanku. Tak mampu membimbing diri sendiri untuk memegang erat pendirianku. Aku merindukan aku yang dulu yang mampu untuk ku jerat jika berpaling dari ketentuanMu. Atau pemahaman ini memang tengah mencari-cari jalan untuk menemukan apa yang ku cari? Hmm.. Ku harap Kau menuntunku kembali. Menjauhkanku dari kefuturan. Semoga saja Kau mengampuniku.