Tentang cinta yang menelusup setiap celah ruang hati. Sungguh
hingga detik ini tak kuyakini bahwa ia benar-benar pernah mendarat
disana.
Terjadi di masa belasan ini awal dari sebuah rasa yang
sebelumnya tak pernah kumiliki. Mungkinkah? Entah. Anggap saja seperti
itu. Seorang kawan dari seragam putih merah yang telah kukenal sejak
usiaku belum genap lima tahun. Aku dan ia sama-sama tidak suka ketika
suatu waktu sebuah meja menyatukan kami. Ya, duduk sebangku. Dia galak,
aku tidak menyukainya. Aku banyak bicara, dia tidak menyukainya. Kami
kerap terlibat pertengkaran yang sangat menyebalkan. Tapi, berakhirnya
usia satu dekade membawa pandanganku lain terhadapnya. Hingga mulut ini
terbungkam tak mendebat seperti biasanya kala ia mulai memulai adu
sengit. Ada apa? Entahlah. Sebelum itu usai, tibalah rasa pada yang
lain. Rasa yang sama namun lebih berlebihan.
Sosoknya yang
tiba-tiba datang menarik perhatian banyak kawan dan aku sendiri. Aku
memang lebih banyak diam mengenai rasa yang tak bisa kupahami
sebenarnya. Kurasa saja. Tapi, ketika teman-teman sekitar mulai membawa
bumbu-bumbu yang sama seperti yang kurasa dalam racikan perbincangan,
aku ikut serta. Ketika mereka berlebihan mengumbar, aku memilih
berlebihan merasakan. Mulai mengingat detail tentangnya. Menghafal.
Mengamati. Meniru. Namun, tetap saja tidak kutampakkan seperti perempuan
lain yang juga katanya menaruh rasa padanya. Dia tahu
perempuan-perempuan itu menginginkannya, sedang tidak tahu diriku yang
memang tetap menyimpannya. Hingga pada tahun 2013 ketika semua telah
lenyap, kukatakan semua padanya setelah entah datang dari mana dia
tiba-tiba mendekat. Dia baru tahu. Tidak menyangka.
Warna
seragamku berubah. Memasuki sebuah dunia pendidikan yang lebih luas. Ah,
maksudku aku akan bertemu dengan lebih banyak teman. Satu angkatan saja
enam kelas. Dan tiga tahun bersama rok biru tua, ada beberapa rasa lagi
yang menyelinap. Empat rasa yang sama berkumpul.
Yang pertama
adalah salah seorang yang setiap hari menuduhku dan seorang teman kami
saling memiliki rasa. Munafik! Dia sendiri yang menyimpan rasa itu
sendiri. Ada yang membocorkannya. Tapi sungguh itu kabar gembira untukku
karna sesungguhnya, aku telah lebih dulu merasa ada yang merasuk.
Adalah awal dimana aku memendam rasa pada seseorang dan ternyata rasa
yang sama dia rasakan.
Kedua, adalah setelah rasaku pada yang
pertama harus kusingkirkan setelah kutahu teman dekatku menyukainya. Ah,
sudahlah. Aku tidak mau ada pertikaian dengan sebab itu. Rasa itu tak
sengaja terlempar untuk dia, kakak kelas. Segala rasa itu kuceritakan
pada seorang teman baikku yang kini telah kembali pada-Nya. Sejak awal
hingga kuakhiri setelah kutahu semua memang harus berakhir.
Ketiga,
rasa yang terjadi pada seorang teman sepupuku. Dia anak putih abu-abu.
Awalnya kami hanya sering mengobrol bersama teman-teman lain. Ia juga
sering menelpon beriring lagu-lagu favorit kami. Memang rasa ini
menumpuk rasa yang kedua. Namun, ketika muncul rasa ini, tak pernah
kuhiraukan rasa kedua yang akhirnya muncul kembali setelah suatu hal
terjadi. Aku menantikannya. Setelah beberapa bulan dekat, dia menyatakan
ingin menjalin sebuah hubungan. Tunjukkan alasan mana yang dapat
melarangku merasa senang saat itu! Tidak ada. Namun dia ku tolak, tidak
kuterima. Kenapa? Entahlah. Aku justru merasa aneh. Perlahan aku justru
membencinya. Setiap kali ia berkunjung ke rumahku bersama sepupuku, aku
mengabaikan. Jangankan ku temui, bahkan aku tak mengeluarkan suara
sedikitpun agar dia tak berkesempatan mendengar suaraku. Jangan sampai!
Aku membenci apapun tentangnya. Lagu-lagu kesukaan kami, seleranya,
melewati rumahnya, bahkan aku malas menyapa orang tuanya. Suatu hari
ketika aku lulus SMK, kami berteman di facebook. Lama-lama aku melunak.
Dia menyatakan kebingungan atas sikapku bertahun-tahun itu. Aku
merenung. Benar saja. Apa salahnya sehingga aku menghindarinya? Dan
sekarang semua telah kembali. Tidak. Ini bukan soal rasa dan
kebersamaan. Kami telah bersepakat untuk bersahabat. Selera kami
benar-benar sama dalam banyak hal. Pembicaraan kami selalu nyambung dan
nyaman sekali bercanda dengannya. Aku berharap dia bahagia dengan
pilihan hatinya kini. Yang semoga terbaik untuknya. Dia dan aku cukup
bersahabat, saudara atau mungkin kakak adik? Ah tidak. Mungkin kami
kembaran.
Kosong. Beberapa waktu
kulewati hati yang tidak mengharap siapapun. Tidak ada rasa yang
menyeret nama satupun. Mungkin saja. Atau aku yang memaksanya hampa
begitu saja? Saat seseoran datang menawarkan sebuah hubungan. Aku
menolak. Dia memaksa. Aku terima. Dan dua minggu kurasa cukup menipunya.
Ah, sesungguhnya aku tidak ingin seperti itu, dia yang meminta. Hingga
lama setelah itu, pada sebuah perjumpaan, ada rasa yang berbeda. Ketika
dia menawarkan kembali sama seperti dulu, aku menolak. Dia tidak
memaksa. Aku lega. Sungguh kurasa ini yang lebih baik. Meski
teman-temanku menyayangkannya. Ini masa putih abu-abu dimana hubungan
itu tak perlu rasa selayaknya dijalani. Apalagi aku dan dia ada rasa.
Apa lagi? Mereka hanya tak melihat dari sudut pandang mana aku melihat.
Tapi
rasa itupun melenyap. Ketika datang sebuah rasa lainnya. Rasa ini
terasa lebih mendalam dari semua yang pernah terjadi. Namun, aku
disakiti. Rasa yang awalnya kukira terbalas itu nyatanya melukai. Dan
pertama kali aku meneteskan air mata hanya karenanya. Pendusta! Ku pikir
aku saja yang masih duduk berseragam ini bodoh mengharapkan ketulusan
dari ia yang lebih dewasa. Ia yang dipuja banyak remaja mungkin memang
mudah saja menebar pesona. Dia orang terkenal dan aku telah berbangga
memilikinya. Ah, Omong kosong. Benar saja kata kawan-kawanku. Tak perlu
pakai rasa. Tidak perlu.
Perlu waktu lama
untuk mengusir rasa itu. Bertahun-tahun aku mencoba tapi sulit. Hampir
setiap hari aku tak pernah lepas dari kenangan-kenangan yang sebenarnya
terangkai dari pesan singkat. Ya, memang aku berkali-kali bertemu
dengannya. Namun, ketika menjalin hubungan empat hari itu hingga
kini aku tak pernah bertemu dengannya. Hanya sapa basa basi melalui
tulisan. Sebenarnya aku pernah menghadiri acara dimana tiba-tiba dia
menjadi bintang tamu, namun tak kulihat jelas, karna mataku yang minus
ini tak memakai kacamata. Dan mendengar suaranya yang (sok)
menyenangkan. Sampai pada akhir masa sekolah membuatku sibuk. Perlahan
rasa itu menyingkir sendiri. Pergi. Di saat ia menyadari kesalahannya
aku sudah tidak peduli. Aku tak percaya. Bahkan dulu rasanya tidak
mungkin. Setelah itu aku benar-benar sudah tidak peduli.
Kosong
lagi. Setelah aku lulus, belum mampu melanjutkan pendidikan, bekerja
dulu. Lingkungan itu tak membawaku pada rasa-rasa itu lagi. Tidak pada
siapapun. Lalu pertemuanku pada sebuah pemahaman baik menenangkan. Tidak
menjalin sebuah hubungan haram. Sebuah prinsip yang mulai kugigit erat.
Tentu saja awalnya berat ketika membayangkan. Untung saja kekosongan
ini melatihku. Walaupun banyak orang datang menyatakan rasa, sama sekali
tak mengusikku. Tetap kosong dan kuat.
Sebuah kejadian yang tak
terduga yang belum pernah menimpaku terjadi. Sakit rawat inap.
Sebelumnya aku dibawa ke IGD, bertemu dengan seorang petugas medis. Aku
penasaran. Dalam hitungan menit raga telah meninggalkan rumah sakit,
namun rasa itu melekat. Hingga tak kuduga dua hari setelahnya aku
kembali. Harapan itu kembali. Namun cepat-cepat pupus karna tak pernah
kutemuinya lagi. Bagaimana mungkin? Namanya aku tidak tahu, wajahnya pun
tertutup masker, tak kuingat sama sekali. Hingga aku berada di bangsal.
Harapan itu ingin kusingkirkan. Tidak mungkin tidak mungkin tidak
mungkin. Mantra itu yang kutusukkan pada harapan-harapan yang bandel.
Toh buktinya sampai detik ini aku tidak tahu apapun, mengingat apapun.
Rasanya pun sudah hilang. Namun sesungguhnya ada rasa yang menutupnya.
Seorang tenaga medis yang merawatku selama tujuh hari disana. Awalnya
aku tidak peduli. Ketika ia menengok tatapannya terlempar ke mataku, aku
berusaha mengabaikan. Aku lelah dengan rasa-rasa yang sepertinya hasil
ciptaanku sendiri. Aku pun biasa saja. Hanya, ketika suatu pagi kudengar
kabar ia akan pindah yang artinya pergi, ada rasa kehilangan. Rasanya
aku pun ingin cepat pulang. Malam minggu. Pasien di sebelahku meninggal
sorenya. Tak ada yang menungguiku. Aku sendiri. Berteman
bayang-bayangnya yang setiap pagi menyapaku, setiap beberapa jam
menghampiriku. Dan gawat rasa itu mengikutiku pulang.
Rasa yang
mengganggu. Kukatakan begitu saja. Rasa yang mengusik ketenanganku. Itu
memang tidak akan merusak sedikitpun prinsipku, tidak ada hubungan
istimewa apapun. Hanya rasanya. Begitu berat sekali kuhadang menyambangi
hati. Sampai aku pindah kerja. Di sana pun tak ada rasa baru. Sampai
setahun aku bekerja di sana yang artinya setahun lebih satu bulan aku
pulang dari rumah sakit, hanya ada satu rasa penasaran dengan seseorang
yang kini sudah sama denganku. Tidak bekerja lagi di sana. Tapi itu
sebatas penasaran dan tidak menumpuk atau menyingkirkan rasa yang
mengganggu itu.
Dekat-dekat ini aku bertemu dengan seseorang yang
menyarankanku move on. Memang berat, tapi harus dipaksakan. Dan
beberapa hari yang lalu, aku dapat berkomunikasi dengan dia yang
merawatku dulu itu. Justru, aku mampu melepas rasa itu. Dengan kelegaan
menuturkan bahwa aku menunggu undangan pernikahannya. Dan menganggapnya
seperti kakakku sendiri menggantikan sosok yang selama ini ku impikan
karna aku anak pertama dan hanya memiliki satu kakak laki-laki sepupu
satu orang yang berlayar di negeri orang. Sosok kakak laki-laki yang
kuanggap begitu karna wajahnya, mirip adik laki-lakiku.
Dan kini.
Di akhir usia belasanku, bagaimana dengan hati ini? Kosongkah? Ada rasa
kah? Dan apakah rasa itu? Bahkan sekali kukatakan bahwa rasa-rasa yang
dulu itu dan beberapa yang tak kuceritakan pun aku tak tahu apakah itu
cinta atau yang lain. Ku pikir aku terlalu mudah mencipta
rasa. Atau memang ini kewajaran yang di lalui setiap remaja di masa
belasan? Pun dengan yang sekarang ini. Ya, sampai detik ini ada sebuah
rasa yang mengganggu. Dengan siapanya biarlah aku, Allah dan satu
sahabatku yang tahu. Dia yang telah memberi banyak inspirasi, motivasi
dan kesadaran. Rasa itu yang entah darimana tercipta, bagaimana
menelusup ruang hati, dan apakah itu cinta? Entahlah. Yang pasti, tak
akan pernah kuingkari prinsip ini. Baik dengan ia yang mungkin tak akan
pernah tahu dan peduli, atau dengan yang lainnya. Biarkan Allah yang
melukisnya. Hingga nanti terpajang jelas di pelaminan hasil karya-Nya.
Semoga saja ada waktu untukku menyanding yang terbaik itu dalam hubungan
halal yang kudamba segera, entah siapapun itu. Dan doa-doa harapan ini
semoga di-aamiin-i-Nya.
-- 19 tahun 11 bulan 30 hari