Jumat, 27 Juni 2014

Ramadhan

Kau dengar
Sayup-sayup lirih tanda kehadirannya
Beriring alunan merdu tutur syukur menyambut
Kau lihat
Samar-samar tanda kedatangannya
Bersama cahya kekuningan yang memancarkan hangat yang memeluk
Kau rasa
Perlahan aroma kesejukan menelusup
Adanya melukiskan senyum-senyum pada raut yang telah menanti,
memahatkan ketentraman pada hati-hati yang merindu
Ia bawa bunga-bunga kedamaian yang mewangikan,
menghalau kedengkian yang menikam
Ia tebar cinta-Nya pada jiwa-jiwa yang senantiasa memuji asma-asma-Nya,
melimpahkan kasih lembut
Kala itu tiap-tiap kebajikan menjadikan perhitungan berlipat-lipat
Sinar surya siang menemani keringnya raga yang haus akan ketaqwaan
Dan malam yang berselimut kalam-kalam tersiar di tiap celah pendengaran
Pintu-pintu naar tertutup dan surga terbuka membentang
Menambah gumpalan semangat hamba-hamba-Nya meraih ridha

Untukmu rahasia-Nya

Kau menggelar kata-kata untuk ku punguti
Pada selembar bait-bait yang berjajar
Kau ingin membagikan sekeping sisa hidup yang kau punya
Dan memintaku melukisnya dengan rasa-rasa
Kau persembahkan alunan doa untukku pada-Nya
Agar tak pernah berpaling akan getaran hati selainmu
Kau tuliskan rangkaian janji untuk ku genggam dalam keyakinan
Bersama penantianku akan engkau yang belum tergambar di benakku,
Engkau yang masih Ia simpan dari pandangan perkiraan,
Yang kan mendaratkan pencarian di depan senyumanku
Kau meggelar kata-kata untuk ku punguti

Selasa, 24 Juni 2014

Renungan

Dalam penolakan, sejatinya aku tidak mengabaikan, namun telah mempertimbangkan dari berbagai segi. Meski begitu, tetap terbesit ketakutan. Bagaimana kalau aku menyakiti? Dan bagaimana kalau-kalau penolakan itu terbalas padaku disaat aku benar-benar mengharapnya? Semoga tidak. Karna aku yakin Tuhan tahu sebab apa aku menolaknya dan menambatkan harapan pada yang lainnya.

Dan ini adalah keresahan tentang kelanjutan studiku, bukan urusan 'seseorang'.

Gengsi

Gengsi. Penyakit ini selain menular, susah disembuhkan, juga mematikan. Mematikan ketentraman hidup. Menuruti gengsi harus siap menerima hati sesak, jiwa lelah dan pikiran kalut. Ukuran mentereng atau tidak itu relatif. Dari segi siapa yang memandang. Dan apakah guna mentereng atau tidak itu? Misal tempat kerja, di sana pendapatan lebih tinggi, itu sih tidak apa-apa. Tapi tentu saja, pendapatan tinggi berbanding lurus dengan tanggung jawabnya. Atau sekolah, perguruan tinggi, kualitasnya baik. Lulusan sana akan cepat mendapat kerja. Itu juga baik. Tapi juga harus disesuaikan dengan kemampuan. Kalau memang tidak mampu jangan dipaksakan. Apalagi sampai lewat jalur belakang. Atau membeli rumah, kendaraan atau peralatan lainnya, ingin beli yang mahal dan bermerk karena mempertimbangkan ukurannya, manfaatnya, keawetannya. Itu bahkan bagus. Jadi tidak boros berkali-kali membeli barang karena rusak. Dan itu tidak bisa disebut gengsi. Meskipun memilih yang terbaik, tapi tujuannya untuk memperoleh manfaatnya, bukan karena ingin dilihat mentereng lalu dipuji. Karena sesungguhnya, gengsi itu layaknya oplosan dari sombong, dengki, kufur, dan mungkin masih banyak lainnya.
Dan ahh.. Sulit sekali menghindari penyakit ini. Astagfirullah. Laa Illaaha Illa Anta Subhaanaka Inni Kuntu Minadzaalimiin.


Senin, 23 Juni 2014

Janji

Bahwa hidup bukankah seharusnya untuk selalu diterima?
Limpahan anugerah yang mesti diterima dengan syukur
Sesak musibah yang mesti diterima dengan sabar
Namun mengapa sulit melakukannya?
Tatkala yang terjadi sebaliknya dan keresahan merayapi
Menjadikan hidup serasa tak hidup
Sungguhkah ketentraman atau kebimbangan adalah buah cipta dari tangan sendiri?

Semenjak fajar mulai menjauh
Beringsut pergi terganti waktu dimana mentari menguning
Tanyakanlah pada diri dan jiwa yang baru ini
Jalan hidup mana yang kan dipilih?
Dan berjanjilah untuk selalu memeluk pilihan itu dengan harapan-harapan yang menjadi doa

Sahabat


Aku ingin bersahabat denganmu
Lewat kata-kata yang terangkai dalam kalimat indah
Menjadi selembar kisah tentang masa lalu dan yang akan datang
Menyisipkan rasa-rasa
Menaburkan warna-warna
Dalam bait-bait yang kau tulis tentangku dan sebaliknya
Menjadikannya selarik puisi untuk tersimpan dalam kenangan
Aku ingin bersahabat denganmu
Lewat tangan yang saling tergenggam
Melangkah dalam kebersamaan


Minggu, 22 Juni 2014

Malam ini

Kilat menjilati gelap langit, malam ini
Terdengar samar rerintikan hujan pada gemuruh suara halilintar
Riuh yang mencekam kukira kan menghabiskan sisa hari ini
Nampaknya, semua berhenti tatkala adzan berkumandang



Ku ingin membalas cinta-Mu

Aku ingin duduk di sebelah-Mu
Menceritakan kebahagiaan yang terlimpahkan selama hidupku
Aku ingin bersujud tepat di hadap-Mu
Memuji kebaikan yang selalu Kau curahkan padaku
Aku ingin memberikan senyum tulus terbaikku, ketika mata ini Kau izinkan menatap-Mu
Dari bibir yang Kau ciptakan berpuluh tahun yang lalu
Aku ingin memeluk-Mu erat penuh cinta
Melepaskan kerinduan akan pertemuan dengan-Mu
Mengaitkan kedua tangan yang Kau pinjamkan pada nyawaku
Yaa Rabb
Ku ingin menjadi mahkluk yang mencintai-Mu seutuhnya
Menjadikan utama dan satu-satunya
Ku tak ingin menjadi hamba yang tidak tahu diri
Mengabaikan-Mu kala Kau curahkan setiap kasih-Mu untukku
Memberi prasangka pada ujian-Mu yang sesungguhnya kan mengangkat derajatku
Yaa Allah
Dalam sisa waktuku menapaki dunia ciptaan-Mu,
Bimbinglah aku untuk selalu melangkah pada jalan-Mu, jalan kebenaran


Aku air mata

Aku datang tanpa kau undang
Ketika hatimu sesak, aku keluar
Aku mengalir dari celah kedua bola matamu
Jernih membasahi raut mukamu yang memanas
Aku hanya ingin menyejukkanmu
Menjadi butir-butir yang menenggelamkan luka perih mendalam
Hapuslah aku ketika kau rasa cukup menepis lara gulana
Namun biarkanlah aku di sini menemanimu sampai habis waktu untuk kau berduka
Jikalau memang belum sanggup, kau merelakannya


Sabtu, 21 Juni 2014

Jalani Saja

Hamparan pasir tersapu dingin air laut di tepi hari
Bersama gulita meninggalkan sepotong kenangan
Menyambut sebuah lembaran putih yang kan kau tulis cerita baru hidupmu nanti
Ketika matamu terjaga dari lelap yang menggulung mimpi
Aku pun tak tahu mengapa Tuhan tak mengizinkan jarum jam berhenti sejenak
Memberi ruang untuk membebaskan
Kerumitan ini ingin rasanya terlepaskan
Hingga tertata rapi lembaran-lembaran kisah menjadi buku kehidupan
Yang setiap muka halaman terbaca menyenangkan
Namun tak mungkin mampu kaucegah jalan yang seharusnya memang begini
Jalani saja
Sampai nanti tak pernah kau jumpai lagi malam-malam seperti ini
Sampai tak akan ada lagi sudut dimana kau bertanya-tanya
Jalani saja

Jika Kau Izinkan

Jika Kau izinkan
Kan ku lewati gerbang bercayaha
Memetik sinar berkilauan
Menggenggam erat dalam pelukan
Jika Kau izinkan
Kan ku ayunkan kedua kaki pada jalan-jalan yang berkelok
Menapak perlahan pada medan terjal
Melangkah anggun di bawah rindang kesejukan
Jika Kau izinkan
Aku ingin bergegas meski menentramkan berada di sana
Lekas memungut remah-remah janji
Mengabulkannya
Jika Kau izinkan
Ku ingin menuliskan sebuah kisah
Yang kan kutinggalkan bersama seutas senyumku
Namun layakkah diri ini melewatinya?
Memandangi dan singgah barang sedetik di sana?
Layakkah diri ini memahat tapak di jalan itu?
Meraih gumpalan cahaya yang kan menjadi pelita di ujung hidup sana?
Sungguh, semua hanya atas izin-Mu
Jika Kau izinkan
Maka, apakah Kau mengizinkan Wahai Rabb-ku?
Jika Kau izinkan
Kan ku ayunkan kedua kaki pada jalan-jalan yang berkelok
Menapak perlahan pada medan terjal
Melangkah anggun di bawah rindang kesejukan
Jika Kau izinkan
Aku ingin bergegas meski menentramkan berada di sana
Lekas memungut remah-remah janji
Mengabulkannya
Jika Kau izinkan
Ku ingin menuliskan sebuah kisah
Yang kan kutinggalkan bersama seutas senyumku
Namun layakkah diri ini melewatinya?
Memandangi dan singgah barang sedetik di sana?
Layakkah diri ini memahat tapak di jalan itu?
Meraih gumpalan cahaya yang kan menjadi pelita di ujung hidup sana?
Sungguh, semua hanya atas izin-Mu
Jika Kau izinkan
Maka, apakah Kau mengizinkan Wahai Rabb-ku?

Minggu, 15 Juni 2014

Sendu

Rembulan malam ini memancarkan kerinduan pada sebuah senyuman 
Yang biasanya melekat pada raut wajah yang menjingga 
Yang menghilang semenjak hari-hari lalu 
Membeku, membiru 
Siraman cahyanya yang kekuningan mencoba menghangatkan 
Wahai rembulan, 
Maafkan aku yang tak meleleh 
Tetap membeku, membisu 
Kulihat kini engkau nampak ingin menumpahkan kemarahanmu 
Pada sepoi angin yang menggigilkan 
Yang mungkin kau anggap menambah dingin lakuku 
Juga pada sepi yang menikam 
Yang menjadikan kesendirian kurasa menentramkan 
Yang memahat kekakuanku seperti sebuah arca 
Oh rembulan, duduklah tenang pada singgasanamu 
Menggantung pada atap langit kesukaanmu 
Karena prasangkamu keliru 
Tak perlu kau risaukan aku 
Dan jikalau senyum ini telah sungguh kau rindui, pejamkan matamu dan peluk kenangan akan senyumku yang dulu 

Jumat, 06 Juni 2014

CATATAN-CATATAN AKHIR

Mimpi. Setiap kali kata ini dihubungkan dengan sebuah pekerjaan kita di masa depan. Profesi apa yang akan kita jalani di sepanjang hidup dengan penuh bahagia.

Aku tidak tahu. Kata itu yang selalu muncul ketika teman-teman SMK menanyaiku. Mereka mudah
saja mengatakan ingin menjadi akuntan. Ya, kami belajar ilmu akuntansi empat jam pelajaran setiap hari. Tentu saja menganggap akuntansi akan mudah kami geluti esok hari. Tapi aku tidak. Bahkan aku masuk sekolah ini karna tidak ada pilihan lain. Bapak dan adiknya menyuruhku menimba ilmu di sini setelah lulus SMP.

Sebenarnya dari kecil aku pun telah berganti-ganti cita-cita. Dari yang sering guru, tenaga medis sampai yang cuma sebentar seperti pramugari. Tapi di akhir masa SMP, aku ingin menjadi bidan. Dan masuk SMK ini, tamat riwayatku. Selesai.

Entah sampai kapan aku menyesalinya. Sakit hati. Tapi aku seharusnya tahu diri. Aku terlahir bukan dari keluarga berada. Segala langkah harus dipertimbangkan dengan kalkulator. Jadi, seharusnya aku tidak banyak menuntut. Dua belas tahun tamat saja mestinya banyak bersyukur.

Lulus. Tidak banyak berharap melanjutkan jenjang perkuliahan. Setelah gagal mengikuti program beasiswa bidik misi, pupus. Kupilih bekerja menanti datangnya waktu dimana aku bisa mewujudkan keinginan duduk di salah satu perguruan tinggi.

Dua tahun kuhabiskan masa pascalulus. Tahun ini harapanku besar dapat menimba ilmu untuk mendapat gelar sarjana. Doa-doa kupanjatkan. Aku bermimpi. Semoga saja Allah meng-aamiin-i tahun ini dapat terwujud. Mengantarkanku pada profesi yang menjadi mimpiku. Yang telah kupilih, mantap. Di manapun nanti aku mengenyam pendidikan itu, inshaAllah mimpiku kan terus ku kejar.


-- Sebelas hari menjelang SBMPTN

CATATAN-CATATAN AKHIR

Tentang cinta yang menelusup setiap celah ruang hati. Sungguh hingga detik ini tak kuyakini bahwa ia benar-benar pernah mendarat disana.

Terjadi di masa belasan ini awal dari sebuah rasa yang sebelumnya tak pernah kumiliki. Mungkinkah? Entah. Anggap saja seperti itu. Seorang kawan dari seragam putih merah yang telah kukenal sejak usiaku belum genap lima tahun. Aku dan ia sama-sama tidak suka ketika suatu waktu sebuah meja menyatukan kami. Ya, duduk sebangku. Dia galak, aku tidak menyukainya. Aku banyak bicara, dia tidak menyukainya. Kami kerap terlibat pertengkaran yang sangat menyebalkan. Tapi, berakhirnya usia satu dekade membawa pandanganku lain terhadapnya. Hingga mulut ini terbungkam tak mendebat seperti biasanya kala ia mulai memulai adu sengit. Ada apa? Entahlah. Sebelum itu usai, tibalah rasa pada yang lain. Rasa yang sama namun lebih berlebihan.

Sosoknya yang tiba-tiba datang menarik perhatian banyak kawan dan aku sendiri. Aku memang lebih banyak diam mengenai rasa yang tak bisa kupahami sebenarnya. Kurasa saja. Tapi, ketika teman-teman sekitar mulai membawa bumbu-bumbu yang sama seperti yang kurasa dalam racikan perbincangan, aku ikut serta. Ketika mereka berlebihan mengumbar, aku memilih berlebihan merasakan. Mulai mengingat detail tentangnya. Menghafal. Mengamati. Meniru. Namun, tetap saja tidak kutampakkan seperti perempuan lain yang juga katanya menaruh rasa padanya. Dia tahu perempuan-perempuan itu menginginkannya, sedang tidak tahu diriku yang memang tetap menyimpannya. Hingga pada tahun 2013 ketika semua telah lenyap, kukatakan semua padanya setelah entah datang dari mana dia tiba-tiba mendekat. Dia baru tahu. Tidak menyangka.

Warna seragamku berubah. Memasuki sebuah dunia pendidikan yang lebih luas. Ah, maksudku aku akan bertemu dengan lebih banyak teman. Satu angkatan saja enam kelas. Dan tiga tahun bersama rok biru tua, ada beberapa rasa lagi yang menyelinap. Empat rasa yang sama berkumpul.

Yang pertama adalah salah seorang yang setiap hari menuduhku dan seorang teman kami saling memiliki rasa. Munafik! Dia sendiri yang menyimpan rasa itu sendiri. Ada yang membocorkannya. Tapi sungguh itu kabar gembira untukku karna sesungguhnya, aku telah lebih dulu merasa ada yang merasuk. Adalah awal dimana aku memendam rasa pada seseorang dan ternyata rasa yang sama dia rasakan.

Kedua, adalah setelah rasaku pada yang pertama harus kusingkirkan setelah kutahu teman dekatku menyukainya. Ah, sudahlah. Aku tidak mau ada pertikaian dengan sebab itu. Rasa itu tak sengaja terlempar untuk dia, kakak kelas. Segala rasa itu kuceritakan pada seorang teman baikku yang kini telah kembali pada-Nya. Sejak awal hingga kuakhiri setelah kutahu semua memang harus berakhir.

Ketiga, rasa yang terjadi pada seorang teman sepupuku. Dia anak putih abu-abu. Awalnya kami hanya sering mengobrol bersama teman-teman lain. Ia juga sering menelpon beriring lagu-lagu favorit kami. Memang rasa ini menumpuk rasa yang kedua. Namun, ketika muncul rasa ini, tak pernah kuhiraukan rasa kedua yang akhirnya muncul kembali setelah suatu hal terjadi. Aku menantikannya. Setelah beberapa bulan dekat, dia menyatakan ingin menjalin sebuah hubungan. Tunjukkan alasan mana yang dapat melarangku merasa senang saat itu! Tidak ada. Namun dia ku tolak, tidak kuterima. Kenapa? Entahlah. Aku justru merasa aneh. Perlahan aku justru membencinya. Setiap kali ia berkunjung ke rumahku bersama sepupuku, aku mengabaikan. Jangankan ku temui, bahkan aku tak mengeluarkan suara sedikitpun agar dia tak berkesempatan mendengar suaraku. Jangan sampai! Aku membenci apapun tentangnya. Lagu-lagu kesukaan kami, seleranya, melewati rumahnya, bahkan aku malas menyapa orang tuanya. Suatu hari ketika aku lulus SMK, kami berteman di facebook. Lama-lama aku melunak. Dia menyatakan kebingungan atas sikapku bertahun-tahun itu. Aku merenung. Benar saja. Apa salahnya sehingga aku menghindarinya? Dan sekarang semua telah kembali. Tidak. Ini bukan soal rasa dan kebersamaan. Kami telah bersepakat untuk bersahabat. Selera kami benar-benar sama dalam banyak hal. Pembicaraan kami selalu nyambung dan nyaman sekali bercanda dengannya. Aku berharap dia bahagia dengan pilihan hatinya kini. Yang semoga terbaik untuknya. Dia dan aku cukup bersahabat, saudara atau mungkin kakak adik? Ah tidak. Mungkin kami kembaran.


Kosong. Beberapa waktu kulewati hati yang tidak mengharap siapapun. Tidak ada rasa yang menyeret nama satupun. Mungkin saja. Atau aku yang memaksanya hampa begitu saja? Saat seseoran datang menawarkan sebuah hubungan. Aku menolak. Dia memaksa. Aku terima. Dan dua minggu kurasa cukup menipunya. Ah, sesungguhnya aku tidak ingin seperti itu, dia yang meminta. Hingga lama setelah itu, pada sebuah perjumpaan, ada rasa yang berbeda. Ketika dia menawarkan kembali sama seperti dulu, aku menolak. Dia tidak memaksa. Aku lega. Sungguh kurasa ini yang lebih baik. Meski teman-temanku menyayangkannya. Ini masa putih abu-abu dimana hubungan itu tak perlu rasa selayaknya dijalani. Apalagi aku dan dia ada rasa. Apa lagi? Mereka hanya tak melihat dari sudut pandang mana aku melihat.

Tapi rasa itupun melenyap. Ketika datang sebuah rasa lainnya. Rasa ini terasa lebih mendalam dari semua yang pernah terjadi. Namun, aku disakiti. Rasa yang awalnya kukira terbalas itu nyatanya melukai. Dan pertama kali aku meneteskan air mata hanya karenanya. Pendusta! Ku pikir aku saja yang masih duduk berseragam ini bodoh mengharapkan ketulusan dari ia yang lebih dewasa. Ia yang dipuja banyak remaja mungkin memang mudah saja menebar pesona. Dia orang terkenal dan aku telah berbangga memilikinya. Ah, Omong kosong. Benar saja kata kawan-kawanku. Tak perlu pakai rasa. Tidak perlu.


Perlu waktu lama untuk mengusir rasa itu. Bertahun-tahun aku mencoba tapi sulit. Hampir setiap hari aku tak pernah lepas dari kenangan-kenangan yang sebenarnya terangkai dari pesan singkat. Ya, memang aku berkali-kali bertemu dengannya. Namun, ketika menjalin hubungan empat hari itu hingga kini aku tak pernah bertemu dengannya. Hanya sapa basa basi melalui tulisan. Sebenarnya aku pernah menghadiri acara dimana tiba-tiba dia menjadi bintang tamu, namun tak kulihat jelas, karna mataku yang minus ini tak memakai kacamata. Dan mendengar suaranya yang (sok) menyenangkan. Sampai pada akhir masa sekolah membuatku sibuk. Perlahan rasa itu menyingkir sendiri. Pergi. Di saat ia menyadari kesalahannya aku sudah tidak peduli. Aku tak percaya. Bahkan dulu rasanya tidak mungkin. Setelah itu aku benar-benar sudah tidak peduli.

Kosong lagi. Setelah aku lulus, belum mampu melanjutkan pendidikan, bekerja dulu. Lingkungan itu tak membawaku pada rasa-rasa itu lagi. Tidak pada siapapun. Lalu pertemuanku pada sebuah pemahaman baik menenangkan. Tidak menjalin sebuah hubungan haram. Sebuah prinsip yang mulai kugigit erat. Tentu saja awalnya berat ketika membayangkan. Untung saja kekosongan ini melatihku. Walaupun banyak orang datang menyatakan rasa, sama sekali tak mengusikku. Tetap kosong dan kuat.

Sebuah kejadian yang tak terduga yang belum pernah menimpaku terjadi. Sakit rawat inap. Sebelumnya aku dibawa ke IGD, bertemu dengan seorang petugas medis. Aku penasaran. Dalam hitungan menit raga telah meninggalkan rumah sakit, namun rasa itu melekat. Hingga tak kuduga dua hari setelahnya aku kembali. Harapan itu kembali. Namun cepat-cepat pupus karna tak pernah kutemuinya lagi. Bagaimana mungkin? Namanya aku tidak tahu, wajahnya pun tertutup masker, tak kuingat sama sekali. Hingga aku berada di bangsal. Harapan itu ingin kusingkirkan. Tidak mungkin tidak mungkin tidak mungkin. Mantra itu yang kutusukkan pada harapan-harapan yang bandel. Toh buktinya sampai detik ini aku tidak tahu apapun, mengingat apapun. Rasanya pun sudah hilang. Namun sesungguhnya ada rasa yang menutupnya. Seorang tenaga medis yang merawatku selama tujuh hari disana. Awalnya aku tidak peduli. Ketika ia menengok tatapannya terlempar ke mataku, aku berusaha mengabaikan. Aku lelah dengan rasa-rasa yang sepertinya hasil ciptaanku sendiri. Aku pun biasa saja. Hanya, ketika suatu pagi kudengar kabar ia akan pindah yang artinya pergi, ada rasa kehilangan. Rasanya aku pun ingin cepat pulang. Malam minggu. Pasien di sebelahku meninggal sorenya. Tak ada yang menungguiku. Aku sendiri. Berteman bayang-bayangnya yang setiap pagi menyapaku, setiap beberapa jam menghampiriku. Dan gawat rasa itu mengikutiku pulang.

Rasa yang mengganggu. Kukatakan begitu saja. Rasa yang mengusik ketenanganku. Itu memang tidak akan merusak sedikitpun prinsipku, tidak ada hubungan istimewa apapun. Hanya rasanya. Begitu berat sekali kuhadang menyambangi hati. Sampai aku pindah kerja. Di sana pun tak ada rasa baru. Sampai setahun aku bekerja di sana yang artinya setahun lebih satu bulan aku pulang dari rumah sakit, hanya ada satu rasa penasaran dengan seseorang yang kini sudah sama denganku. Tidak bekerja lagi di sana. Tapi itu sebatas penasaran dan tidak menumpuk atau menyingkirkan rasa yang mengganggu itu.

Dekat-dekat ini aku bertemu dengan seseorang yang menyarankanku move on. Memang berat, tapi harus dipaksakan. Dan beberapa hari yang lalu, aku dapat berkomunikasi dengan dia yang merawatku dulu itu. Justru, aku mampu melepas rasa itu. Dengan kelegaan menuturkan bahwa aku menunggu undangan pernikahannya. Dan menganggapnya seperti kakakku sendiri menggantikan sosok yang selama ini ku impikan karna aku anak pertama dan hanya memiliki satu kakak laki-laki sepupu satu orang yang berlayar di negeri orang. Sosok kakak laki-laki yang kuanggap begitu karna wajahnya, mirip adik laki-lakiku.

Dan kini. Di akhir usia belasanku, bagaimana dengan hati ini? Kosongkah? Ada rasa kah? Dan apakah rasa itu? Bahkan sekali kukatakan bahwa rasa-rasa yang dulu itu dan beberapa yang tak kuceritakan pun aku tak tahu apakah itu cinta atau yang lain.
Ku pikir aku terlalu mudah mencipta rasa. Atau memang ini kewajaran yang di lalui setiap remaja di masa belasan? Pun dengan yang sekarang ini. Ya, sampai detik ini ada sebuah rasa yang mengganggu. Dengan siapanya biarlah aku, Allah dan satu sahabatku yang tahu. Dia yang telah memberi banyak inspirasi, motivasi dan kesadaran. Rasa itu yang entah darimana tercipta, bagaimana menelusup ruang hati, dan apakah itu cinta? Entahlah. Yang pasti, tak akan pernah kuingkari prinsip ini. Baik dengan ia yang mungkin tak akan pernah tahu dan peduli, atau dengan yang lainnya. Biarkan Allah yang melukisnya. Hingga nanti terpajang jelas di pelaminan hasil karya-Nya. Semoga saja ada waktu untukku menyanding yang terbaik itu dalam hubungan halal yang kudamba segera, entah siapapun itu. Dan doa-doa harapan ini semoga di-aamiin-i-Nya.

-- 19 tahun 11 bulan 30 hari

CATATAN-CTATAN AKHIR

Hampir habis masa yang pada akhirnya memungkinkan nyawaku ditarik dari raga
Terselip takut yang menggigilkan
Jikalau dosa melimpah ruah sulit dilenyapkan
Jikalau khilaf menumpuk tak termaafkan
Jikalau ridha-Nya tak mampu kuraih dalam genggam tangan
Jikalau hanya sia-sia yang kubawa menjadi kawan dalam tanah
Naudzubillahimindzalik
Laa Illaaha Illaa Anta Subhannaka Inni Kuntu Minadzaalimiin
Masihkah ada detik waktu untukku memohon ampunan-Nya?
Masih sempatkah kututurkan maaf pada hati-hati yang terluka karnaku?
Sementara sungguh aku tidak tahu apakah masih benar-benar ada waktu lagi untukku

Mungkin memang kan berakhir pada tanggal dimana kontrak hidupku usai tahun ini
Mungkin ada perpanjangan kontrak hidup yang entah, apakah kan sampai satu tahun nanti atau lebih, atau kan dipenggal sebelum jatuh tempo
Wallahua'lam Bissawab

Maafkan aku teman-teman, jika tutur, sikap dan prasangka pernah melukaimu
Terimakasih untuk sepotong kisah yang pernah bersama-sama kita lalui
Hanya doa yang kuharap yang semoga di-aamiin-i-Nya
Dan mungkin kenangan tentangku seperti bintang kecil di langit sana, samar-samar namun ada

Bila seandainya Ia masih mengizinkanku di sini, awali semua dari lembaran putih
Lukiskan syukur
Gambarkan doa
Tuliskan harapan
Warnai dengan mimpi-mimpi yang semoga,
Menjadi nyata

-- 07 Juni 1994 - 2014
[20 TAHUN]