Jumat, 06 Juni 2014

CATATAN-CATATAN AKHIR

Tentang cinta yang menelusup setiap celah ruang hati. Sungguh hingga detik ini tak kuyakini bahwa ia benar-benar pernah mendarat disana.

Terjadi di masa belasan ini awal dari sebuah rasa yang sebelumnya tak pernah kumiliki. Mungkinkah? Entah. Anggap saja seperti itu. Seorang kawan dari seragam putih merah yang telah kukenal sejak usiaku belum genap lima tahun. Aku dan ia sama-sama tidak suka ketika suatu waktu sebuah meja menyatukan kami. Ya, duduk sebangku. Dia galak, aku tidak menyukainya. Aku banyak bicara, dia tidak menyukainya. Kami kerap terlibat pertengkaran yang sangat menyebalkan. Tapi, berakhirnya usia satu dekade membawa pandanganku lain terhadapnya. Hingga mulut ini terbungkam tak mendebat seperti biasanya kala ia mulai memulai adu sengit. Ada apa? Entahlah. Sebelum itu usai, tibalah rasa pada yang lain. Rasa yang sama namun lebih berlebihan.

Sosoknya yang tiba-tiba datang menarik perhatian banyak kawan dan aku sendiri. Aku memang lebih banyak diam mengenai rasa yang tak bisa kupahami sebenarnya. Kurasa saja. Tapi, ketika teman-teman sekitar mulai membawa bumbu-bumbu yang sama seperti yang kurasa dalam racikan perbincangan, aku ikut serta. Ketika mereka berlebihan mengumbar, aku memilih berlebihan merasakan. Mulai mengingat detail tentangnya. Menghafal. Mengamati. Meniru. Namun, tetap saja tidak kutampakkan seperti perempuan lain yang juga katanya menaruh rasa padanya. Dia tahu perempuan-perempuan itu menginginkannya, sedang tidak tahu diriku yang memang tetap menyimpannya. Hingga pada tahun 2013 ketika semua telah lenyap, kukatakan semua padanya setelah entah datang dari mana dia tiba-tiba mendekat. Dia baru tahu. Tidak menyangka.

Warna seragamku berubah. Memasuki sebuah dunia pendidikan yang lebih luas. Ah, maksudku aku akan bertemu dengan lebih banyak teman. Satu angkatan saja enam kelas. Dan tiga tahun bersama rok biru tua, ada beberapa rasa lagi yang menyelinap. Empat rasa yang sama berkumpul.

Yang pertama adalah salah seorang yang setiap hari menuduhku dan seorang teman kami saling memiliki rasa. Munafik! Dia sendiri yang menyimpan rasa itu sendiri. Ada yang membocorkannya. Tapi sungguh itu kabar gembira untukku karna sesungguhnya, aku telah lebih dulu merasa ada yang merasuk. Adalah awal dimana aku memendam rasa pada seseorang dan ternyata rasa yang sama dia rasakan.

Kedua, adalah setelah rasaku pada yang pertama harus kusingkirkan setelah kutahu teman dekatku menyukainya. Ah, sudahlah. Aku tidak mau ada pertikaian dengan sebab itu. Rasa itu tak sengaja terlempar untuk dia, kakak kelas. Segala rasa itu kuceritakan pada seorang teman baikku yang kini telah kembali pada-Nya. Sejak awal hingga kuakhiri setelah kutahu semua memang harus berakhir.

Ketiga, rasa yang terjadi pada seorang teman sepupuku. Dia anak putih abu-abu. Awalnya kami hanya sering mengobrol bersama teman-teman lain. Ia juga sering menelpon beriring lagu-lagu favorit kami. Memang rasa ini menumpuk rasa yang kedua. Namun, ketika muncul rasa ini, tak pernah kuhiraukan rasa kedua yang akhirnya muncul kembali setelah suatu hal terjadi. Aku menantikannya. Setelah beberapa bulan dekat, dia menyatakan ingin menjalin sebuah hubungan. Tunjukkan alasan mana yang dapat melarangku merasa senang saat itu! Tidak ada. Namun dia ku tolak, tidak kuterima. Kenapa? Entahlah. Aku justru merasa aneh. Perlahan aku justru membencinya. Setiap kali ia berkunjung ke rumahku bersama sepupuku, aku mengabaikan. Jangankan ku temui, bahkan aku tak mengeluarkan suara sedikitpun agar dia tak berkesempatan mendengar suaraku. Jangan sampai! Aku membenci apapun tentangnya. Lagu-lagu kesukaan kami, seleranya, melewati rumahnya, bahkan aku malas menyapa orang tuanya. Suatu hari ketika aku lulus SMK, kami berteman di facebook. Lama-lama aku melunak. Dia menyatakan kebingungan atas sikapku bertahun-tahun itu. Aku merenung. Benar saja. Apa salahnya sehingga aku menghindarinya? Dan sekarang semua telah kembali. Tidak. Ini bukan soal rasa dan kebersamaan. Kami telah bersepakat untuk bersahabat. Selera kami benar-benar sama dalam banyak hal. Pembicaraan kami selalu nyambung dan nyaman sekali bercanda dengannya. Aku berharap dia bahagia dengan pilihan hatinya kini. Yang semoga terbaik untuknya. Dia dan aku cukup bersahabat, saudara atau mungkin kakak adik? Ah tidak. Mungkin kami kembaran.


Kosong. Beberapa waktu kulewati hati yang tidak mengharap siapapun. Tidak ada rasa yang menyeret nama satupun. Mungkin saja. Atau aku yang memaksanya hampa begitu saja? Saat seseoran datang menawarkan sebuah hubungan. Aku menolak. Dia memaksa. Aku terima. Dan dua minggu kurasa cukup menipunya. Ah, sesungguhnya aku tidak ingin seperti itu, dia yang meminta. Hingga lama setelah itu, pada sebuah perjumpaan, ada rasa yang berbeda. Ketika dia menawarkan kembali sama seperti dulu, aku menolak. Dia tidak memaksa. Aku lega. Sungguh kurasa ini yang lebih baik. Meski teman-temanku menyayangkannya. Ini masa putih abu-abu dimana hubungan itu tak perlu rasa selayaknya dijalani. Apalagi aku dan dia ada rasa. Apa lagi? Mereka hanya tak melihat dari sudut pandang mana aku melihat.

Tapi rasa itupun melenyap. Ketika datang sebuah rasa lainnya. Rasa ini terasa lebih mendalam dari semua yang pernah terjadi. Namun, aku disakiti. Rasa yang awalnya kukira terbalas itu nyatanya melukai. Dan pertama kali aku meneteskan air mata hanya karenanya. Pendusta! Ku pikir aku saja yang masih duduk berseragam ini bodoh mengharapkan ketulusan dari ia yang lebih dewasa. Ia yang dipuja banyak remaja mungkin memang mudah saja menebar pesona. Dia orang terkenal dan aku telah berbangga memilikinya. Ah, Omong kosong. Benar saja kata kawan-kawanku. Tak perlu pakai rasa. Tidak perlu.


Perlu waktu lama untuk mengusir rasa itu. Bertahun-tahun aku mencoba tapi sulit. Hampir setiap hari aku tak pernah lepas dari kenangan-kenangan yang sebenarnya terangkai dari pesan singkat. Ya, memang aku berkali-kali bertemu dengannya. Namun, ketika menjalin hubungan empat hari itu hingga kini aku tak pernah bertemu dengannya. Hanya sapa basa basi melalui tulisan. Sebenarnya aku pernah menghadiri acara dimana tiba-tiba dia menjadi bintang tamu, namun tak kulihat jelas, karna mataku yang minus ini tak memakai kacamata. Dan mendengar suaranya yang (sok) menyenangkan. Sampai pada akhir masa sekolah membuatku sibuk. Perlahan rasa itu menyingkir sendiri. Pergi. Di saat ia menyadari kesalahannya aku sudah tidak peduli. Aku tak percaya. Bahkan dulu rasanya tidak mungkin. Setelah itu aku benar-benar sudah tidak peduli.

Kosong lagi. Setelah aku lulus, belum mampu melanjutkan pendidikan, bekerja dulu. Lingkungan itu tak membawaku pada rasa-rasa itu lagi. Tidak pada siapapun. Lalu pertemuanku pada sebuah pemahaman baik menenangkan. Tidak menjalin sebuah hubungan haram. Sebuah prinsip yang mulai kugigit erat. Tentu saja awalnya berat ketika membayangkan. Untung saja kekosongan ini melatihku. Walaupun banyak orang datang menyatakan rasa, sama sekali tak mengusikku. Tetap kosong dan kuat.

Sebuah kejadian yang tak terduga yang belum pernah menimpaku terjadi. Sakit rawat inap. Sebelumnya aku dibawa ke IGD, bertemu dengan seorang petugas medis. Aku penasaran. Dalam hitungan menit raga telah meninggalkan rumah sakit, namun rasa itu melekat. Hingga tak kuduga dua hari setelahnya aku kembali. Harapan itu kembali. Namun cepat-cepat pupus karna tak pernah kutemuinya lagi. Bagaimana mungkin? Namanya aku tidak tahu, wajahnya pun tertutup masker, tak kuingat sama sekali. Hingga aku berada di bangsal. Harapan itu ingin kusingkirkan. Tidak mungkin tidak mungkin tidak mungkin. Mantra itu yang kutusukkan pada harapan-harapan yang bandel. Toh buktinya sampai detik ini aku tidak tahu apapun, mengingat apapun. Rasanya pun sudah hilang. Namun sesungguhnya ada rasa yang menutupnya. Seorang tenaga medis yang merawatku selama tujuh hari disana. Awalnya aku tidak peduli. Ketika ia menengok tatapannya terlempar ke mataku, aku berusaha mengabaikan. Aku lelah dengan rasa-rasa yang sepertinya hasil ciptaanku sendiri. Aku pun biasa saja. Hanya, ketika suatu pagi kudengar kabar ia akan pindah yang artinya pergi, ada rasa kehilangan. Rasanya aku pun ingin cepat pulang. Malam minggu. Pasien di sebelahku meninggal sorenya. Tak ada yang menungguiku. Aku sendiri. Berteman bayang-bayangnya yang setiap pagi menyapaku, setiap beberapa jam menghampiriku. Dan gawat rasa itu mengikutiku pulang.

Rasa yang mengganggu. Kukatakan begitu saja. Rasa yang mengusik ketenanganku. Itu memang tidak akan merusak sedikitpun prinsipku, tidak ada hubungan istimewa apapun. Hanya rasanya. Begitu berat sekali kuhadang menyambangi hati. Sampai aku pindah kerja. Di sana pun tak ada rasa baru. Sampai setahun aku bekerja di sana yang artinya setahun lebih satu bulan aku pulang dari rumah sakit, hanya ada satu rasa penasaran dengan seseorang yang kini sudah sama denganku. Tidak bekerja lagi di sana. Tapi itu sebatas penasaran dan tidak menumpuk atau menyingkirkan rasa yang mengganggu itu.

Dekat-dekat ini aku bertemu dengan seseorang yang menyarankanku move on. Memang berat, tapi harus dipaksakan. Dan beberapa hari yang lalu, aku dapat berkomunikasi dengan dia yang merawatku dulu itu. Justru, aku mampu melepas rasa itu. Dengan kelegaan menuturkan bahwa aku menunggu undangan pernikahannya. Dan menganggapnya seperti kakakku sendiri menggantikan sosok yang selama ini ku impikan karna aku anak pertama dan hanya memiliki satu kakak laki-laki sepupu satu orang yang berlayar di negeri orang. Sosok kakak laki-laki yang kuanggap begitu karna wajahnya, mirip adik laki-lakiku.

Dan kini. Di akhir usia belasanku, bagaimana dengan hati ini? Kosongkah? Ada rasa kah? Dan apakah rasa itu? Bahkan sekali kukatakan bahwa rasa-rasa yang dulu itu dan beberapa yang tak kuceritakan pun aku tak tahu apakah itu cinta atau yang lain.
Ku pikir aku terlalu mudah mencipta rasa. Atau memang ini kewajaran yang di lalui setiap remaja di masa belasan? Pun dengan yang sekarang ini. Ya, sampai detik ini ada sebuah rasa yang mengganggu. Dengan siapanya biarlah aku, Allah dan satu sahabatku yang tahu. Dia yang telah memberi banyak inspirasi, motivasi dan kesadaran. Rasa itu yang entah darimana tercipta, bagaimana menelusup ruang hati, dan apakah itu cinta? Entahlah. Yang pasti, tak akan pernah kuingkari prinsip ini. Baik dengan ia yang mungkin tak akan pernah tahu dan peduli, atau dengan yang lainnya. Biarkan Allah yang melukisnya. Hingga nanti terpajang jelas di pelaminan hasil karya-Nya. Semoga saja ada waktu untukku menyanding yang terbaik itu dalam hubungan halal yang kudamba segera, entah siapapun itu. Dan doa-doa harapan ini semoga di-aamiin-i-Nya.

-- 19 tahun 11 bulan 30 hari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar