Jumat, 19 Juni 2015

Suatu hari di awal bulan itu

Tiba-tiba teringat kembali hari itu. Sehari bersamamu yang menyakitkan. Ketika sebenarnya kedua orang tuaku tidak mengizinkan, tapi aku berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan pada akhirnya, yang telah terjadi begitu sulit dilupakan. Hanya jalan berdua sepanjang jalan beberapa kilo, sarapan bersama, lalu malamnya nonton di bioskop mall kotaku.
Semua awalnya biasa saja. Dan semenjak hari itu terjadi, kebersamaan itu, aku takut akan kehilangan yang nyatanya telah terjadi. Perasaan justru menjadi ada. Air mata untuk kedua kali sudi kualirkan hanya demi seorang laki-laki.
Kini, aku kembali biasa saja. Dan ketika kamu menelponku mengucapkan selamat ulang tahun, ibuku yang mendengarkan bilang bahwa jawabanku di telepon itu sinis. Padahal aku biasa saja. Menanggapi sewajarnya sesuai mood. Karna itu hari ulang tahunku, aku tentu saja sedang goodmood.
Tapi diam-diam aku renungkan, sepertinya aku memang kurang menyukaimu. Entahlah. Setiap kamu update, share atau melakukan apapun yang dapat kuketahui di akun sosial mediamu, rasanya bikin ill feel.
Setiap iseng mencoba stalking akun facebookmu, justru banyak yang tidak kusuka ketika membacanya.
Sayangnya, terasa berbeda sensasinya jika aku mengingat hari itu. Hari di mana kedua kali kita bertemu setelah pertemuan pertama adalah perkenalan tak disengaja.
Kemudian mengingat bagaimana aku menatap ibuku dengan muka bersalah. Aku mendesak beliau mengizinkan pergi malam-malam sekali saja. Namun setelah tahu bahwa aku yang membayari nonton 3 orang di akhir pekan malam itu, nampaknya beliau kecewa. Aku tahu sebaiknya aku tidak membicarakan dan mengungkit materiil. Hanya saja dengan kesulitan yang memang kami alami, bagi ibuku itu menyebalkan. Apalagi kamu membawaku pergi tanpa menjemput meminta izin. Hanya mengantar pulang saja. Buruklah kamu di mata orang tuaku.
Aku tidak bermaksud menagih. Aku sudah mengikhlaskannya.
Ibuku juga tidak menceritakan kepada bapak. Ini bukan mengenai nominalnya, tapi tanggung jawabnya, begitu kata beliau.
Biarlah. Anggap saja sebagai tuan rumah aku mentraktirmu.
Entah kenapa aku menulis ini dan mempostingnya. Tapi aku juga yakin kalau kamu tidak akan membacanya. Jadi aman lah aku membicarakan apa saja. Kalau dibaca orang lain ya biarkan menjadi pelajaran bagi mereka agar tidak sama dengan kita yang seenaknya terhadap orang tuaku.
Sebentar lagi kamu menikah. Ahh aku sudah rela kok. Jadi jangan khawatir aku sedih kehilanganmu. Tidak. Aku merindukan masa lalu kita saja. Bukan masa depan. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali terakhir bertemu denganmu lagi sebelum kau menjadi milik perempuan itu. Sekedar bercerita akan hal yang pernah membuatku menggantung lalu tiba-tiba dijatuhkan. Tidak. Aku tidak akan menyalahkanmu. Sungguh aku hanya ingin membicarakan yang baik-baik saja.
Atau memiliki sesuatu yang spesial darimu untuk kukenang. Bukannya aku meminta-minta. Aku hanya ingin mempunyai kenang-kenangan darimu.
Sudahlah. Apapun yang kutulis tidak untuk membuat siapapun merasa yang tidak enak tidak enak. Aku tidak apa-apa dan hidupku baik-baik saja.
Selamat malam. Sebentar tidur lalu bangun untuk makan sahur.
Semoga tidur membawa mimpi yang dapat mengubah jalan pikiranku. Untuk menelan segala rindu yang harus hilang.

Untukmu yang pernah 'tidak pernah ku panggil kamu'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar